INTI PADMA

Icon INTI PADMA
SANGGAR
SATTVIKA MEDITASI

Entri Populer

CONTACT

Telepon Call
TELEPHONE & SMS
Hp : 0857-2877-5740 ( m3 ) Hp : 0852-0042-3557 ( AS )

Blackberry Toko Online
BLACKBERRY
7D603818

Icon WhatsApp
WhatsApp
No: 0857-2877-5740

DONASI


a/n Ahmad sodik
No: 422-100-320-3267

Anda pengunjung ke

Translate

Senin

MATI SAK JERONING URIP
(Mati di Dalam Hidup)


Menurut As-Sabazwary mati mempunyai dua makna:
1. Mati thabi`iy: berpindahnya Ruh dari badan
2. Mati ikhtiyary/maknawi: mengekang hawa nafsu dan mengendalikan syahwatnya.


Yaitu sebagaimana dalam hadis:

موتوا قبل ان تموتوا وحاسبوا انفسكم قبل ان تحاسبوا

Matilah kalian sebelum kalian mati, dan Hisablah (telitilah) diri kalian sendiri, sebelum kalian dihisab.[1]
Hal ini juga dikuatkan oleh pernyataan Sayidina Ali :

النَّاسُ نِيَامٌ فَاِذَا مَاتُوْا إِنْتَبَهُوْ

“Manusia dalam keadaan tidur maka apabila mereka mati, maka mereka terangun (dari tidurnya).” [2]

Jalaluddin rumi menafsirkan hadis nabi SAW: Mutu qabla an tamutu. Matilah kamu sebelum kamu mati. Di sini disebut dua kali kata “mati” untuk menunjukkan ada dua kematian. Kematian pada kata tamutu adalah kematian alami, almaut al-thabi`i, dan inilah kematian yang kita kenal. Ibnu `arabi dan para sufi lainnya menganggap kematian ini sebagai kembali kepada Allah secara terpaksa, ruju` idhtirari. Semua makhluk akan mengalami kematian jenis ini, suka ataupun tidak suka. Sedangkan kematian pada kata perintah mutu adalah kematian mistikal. Kematian ego, atau kematian diri. Ibnu Arabi menyebutnya dengan maut al-iradi atau kematian keinginan.[3]

Mengenai kematian yang pertama, yakni maut thabi`i, Abu Darda` ra. berkata,”Kematian adalah baik bagi setiap mukmin. Barang siapa tidak mempercayaiku, hendaknya ia membaca wahyu Tuhan Yang Maha Mulia ini:

وما عند الله خير للابرار

“Dan apa yang disisi Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang berbakti,”(Ali imran:198)

Hassan bin Aswad berkata,”Kematian itu baik bagi orang mukmin, karena disitu terjadi pertemuan antara kekasih dengan yang dikasihi.[ 4 ]

Cara Mencapai Kematian Diri

Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan, “Wahai hamba Allah, sadarilah bahwa engkau hanya sebatas diberi harapan. Maka, jauhilah segala sesuatu selain Allah Azza wa Jalla dengan kalbumu sehingga engkau dapat dekat kepada-Nya. Matilah engkau sebelum mati. Matilah engkau dari dirimu dan makhluk. Sungguh telah diangkat berbagai hijab dari dirimu dan Allah Azza wa Jalla.”

Seseorang bertanya, “Bagaimana saya harus mati?” Lalu beliau menjawab, “Matilah dari mengikuti kemauan, hawa nafsu, tabiat dan kebiasaan burukmu, serta matilah dari mengikuti makhluk dan dari berbagai sebab. Tinggalkanlah persekutuan dengan mereka dan berharaplah hanya kepada Allah, tidak selain-Nya. Hendaklah engkau menjadikan seluruh amalmu hanya karena Allah Azza wa Jalla dan tidak mengharap nikmat-Nya.

Hendaklah engkau bersikap ridha atas pengaturan, qadha dan tindakan-Nya. Jika engkau melakukan hal yang demikian, maka hidup dan matimu akan bersama-Nya. Kalbumu akan menjadi tentram. Dialah yang membolak-balikkannya sesuai dengan kehendak-Nya. Kalbumu akan selalu menjadi dekat kepada-Nya, selalu terhubung dan bergantung kepada-Nya. Engkau akan selalu mengingat-Nya dan melupakan segala perkara selain Diri-Nya. [5]

Orang yang sampai pada tahap mati ma’nawi, seluruh nafsunya seperti nafsu ammarah, lawwamah dan sawwalat telah mengalami proses kematian. Sehingga dalam pandangannya meyakini bahwa segala wujud gairullah (selain Allah) fana’ dan hakikatnya tidak ada. Karena itu, Wujudullah adalah wujud yang sebenarnya.

Tingkatan Mati Dalam Tasawuf

Para arif menyebutkan, tingkatan dan jenis kematian ikhtiari yang pada akhirnya akan mengantarkan pesuluk pada makam kematian sempurna; tingkatan ini secara runut adalah:

1. Maut al-Abyâdh (Kematian putih) yang merupakan cahaya hati.

2. Maut al-Akhdhâr (Kematian hijau) yaitu hidup sederhana dan makam fakir.

3. Maut al-Ahmâr (Kematian merah) yaitu perang pesuluk dengan nafsunya yang disebut sebagai jihad akbar. Karena kemestian terbunuh pada medan jihad adalah tumpahnya darah karena itulah kematian ini disebut sebagai kematian merah.

4. Maut al-Aswâd (kematian hitam) yaitu menanggung beban teguran (berisikan penghinaan) dan kejenuhan, penderitaan dan pelbagai tuduhan
.
Penjelasan lebih tepat dan lebih jelas dari keempat kematian ikhtiari ini adalah bahwa pesuluk selama ia belum mati (kematian pertama – merah) maka ia tidak akan sampai kepada Tuhan dan tidak menemukan keabadian. Sepanjang ia tidak merasakan penderitaan lapar (kematian kedua) maka ia tidak akan melintasi, meraih kepuasan dan merasakan kelezatan dari Tuhan. Sepanjang ia tidak merasakan terinjak-injaknya wibawa (kematian ketiga) maka ia tidak akan sampai pada identitas esensial dan makna wujud. Dan sepanjang ia tidak mengabaikan orang-orang yang dicintainya maka ia tidak akan pernah menjadi ahli hati (kematian keempat – putih). [6]

Sedangkan Syekh Jalaluddin menjelaskan mati dalam tasawuf ada empat kematian yaitu

1. MATI TABI’I : Yaitu mati panca indra yang lima, seluruh anggota tubuhnya secara lahir dan batin telah membaca Alloh Alloh dan suara alam ini seolah berzikir dan terdengar membaca kalimat Alloh Alloh, berzikir dengan sendirinya, hingga yang tinggal hanyalah rasa rindu terhadap Allah. Orang yang telah merasakan mati Tabi’i itulah orang yang telah sampai dengan Rahmat pada maqam tajalli Af’alulloh (nyata perbuatan Alloh Swt.).

2. MATI MAKNAWI : Yaitu merasakan dirinya lahir dan batin telah hilang dan seluruh alam ini telah lenyap semuanya, yang ada hanyalah kalimat Alloh Alloh semata-mata dimanapun ia memandang, kalimat Alloh yang ditulis dengan Nur Muhammad. Orang yang telah merasakan mati maknawi itulah orang yang telah sampai dengan rahmat Alloh pada maqam Asma Alloh Swt., atau biasa disebut maqam Tajalli Asma (nyata nama Alloh Swt.), nama dengan yang punya nama tidak terpisahkan sedikitpun. ”Dengan nama Alloh Swt., yang tidak memberi mudarat/binasa dilangit dan dibumi dan Dia maha mendengar lagi maha mengetahui”.

3. MATI SURI : Yaitu di dalam perasaan orang itu telah lenyap segala warna-warni,
yang ada hanya Nur semata-mata, yakni Nurulloh, Nur Dzatulloh, Nur Sifatulloh, Nur Asma Alloh, Nur Af’alulloh, Nur Muhammad, Nur Baginda Rosululloh, Nur Samawi, Nur ‘Ala Nur. Inilah orang yang telah diberi pelita oleh Alloh untuk meluruskan jalannya.
Orang yang telah merasakan mati suri itulah orang yang telah sampai dengan rahmat Alloh pada makam Tajalli Sifattulloh (Nyata Sifat Alloh).

4. MATI HISSI : Yaitu dalam perasaannya telah lenyap kalimat Alloh, dan telah lenyap pula seluruh alam ini secara lahir dan batin, dan telah lenyap pula Nur yang tadinya terang benderang, yang ada dan dirasakannya adalah Dzat Alloh SWT, bahkan dirinya sendiripun dirasakannya hilang musnah, ia telah “dibunuh” Allah Swt. Dan dialah sebagai gantinya. [7]

Firman Alloh SWT didalam Hadist Qudsi :
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Allah Ta’ala berfirman:

مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ

“Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku maka Aku umumkan perang kepadanya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan kepadanya. Dan terus menerus hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan yang sunnah hingga Aku mencintai dia. Jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang dia mendengar dengannya, dan pandangannya yang dia memandang dengannya, dan tangannya yang dia menyentuh dengannya, dan kakinya yang dia berjalan dengannya. Jikalau dia meminta kepada-Ku niscaya pasti akan Kuberi, dan jika dia meminta perlindungan kepada-Ku niscaya pasti akan Kulindungi.” (HR. Al-Bukhari) [8]

Dalam kitab Nahjul Balaghoh, dijelaskan tentang kedudukan para wali, Imam Ali Bin Abi Thalib berkata kepada Kumail An Nakha’i: “Bumi ini tidak akan kosong dari hamba-hamba Allah yang menegakkan agama Allah dengan penuh keberanian dan keikhlasan, sehingga agama Allah tidak akan punah dari peredarannya. Akan tetapi, berapakah jumlah mereka dan dimanakah mereka berada? Kiranya hanya Allah yang mengetahui tentang mereka. Demi Allah, jumlah mereka tidak banyak, tetapi nilai mereka di sisi Allah sangat mulia. Dengan mereka, Allah menjaga agamaNya dan syariatNya, sampai dapat diterima oleh orang-orang seperti mereka. Mereka menyebarkan ilmu dan ruh keyakinan. Mereka tidak suka kemewahan, mereka senang dengan kesederhanaan. Meskipun tubuh mereka berada di dunia, tetapi rohaninya membumbung ke alam malakut. Mereka adalah khalifah-khalifah Allah di muka bumi dan para da’i kepada agamaNya yang lurus. Sungguh, betapa rindunya aku kepada mereka.” (Nahjul Balaghoh)

Salah satu makam irfani yang memiliki sisi lain dari istilah “kematian ikhtiari” adalah khal’-e badan (melucuti badan). Artinya pesuluk melangkah lebih tinggi dari kematian dan badan baginya laksana pakaian yang dapat kapan saja apabila ia mau ia lucuti dan tanggalkan. Arif dalam makam ini secara asasi lebih tinggi dari jasmaninya.

Imam Ja’far Shodiq menjelaskan bahwa kelahiran dan kematian seorang Imam (wali) adalah sangat unik sekali, dijelaskan lebih lanjut, Kelahiran dan kematian seorang Imam (wali) bukanlah suatu kelahiran dan bukan pula kematian ( inna milaad al-Imam wa mautuha laisa bi milaadin wala mautin). Yaitu seperti seseorang yang memakai baju dan melepaskan nya kembali sesuai dengan yang dikehendakinya. [9]


Daftar Rujukan:

[1] http://www.kasnazan.com/article.php?id=211, http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php…, http://library.islamweb.net/hadith/display_hbook.php…
[2] http://www.al-shia.org/…/ara/books/lib-hadis/behar66/131.htm, hal. 306 ] [http://www.ra-ye.com/vb/archive/index.php/t-13380.html] http://www.haydarya.com/maktaba_moktasah/07/book_67/01.htm
[3] Jalaluddin Rakhmat, Meraih Cinta Ilahi Pencerahan Sufistik (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 116
[4] Imam Qurthubi, Menyingkap Misteri Kematian At Tadzkirah, terj.Ali Ridho Maulechela dan Ali al-Mutamakkin (Solo: Pustaka Zawiyah, 2005), hal. 11]
[5] Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Fath Ar-Rabbani wal-Faidh Ar-Rahmani http://ashakimppa.blogspot.com/…/mati-lah-sebelum-kau-mati.…, https://ia800303.us.archive.org/…/i…/ketab1348/ketab1348.pdf
[6] Hasan Zadeh Amuli, Syarh ‘Uyûn Masâil al-Nafs, http://www.islamquest.net/id/archive/question/fa7662, http://www.haydarya.com/maktaba_moktasah/09/book_05/2.htm,
[7] Prof. Dr. H. Djalaluddin, Sinar Keemasan II, Surabaya: Pen. Terbit Terang, hal 206
[8] http://www.daawa-info.net/books1.php?id=3773&bn=151&page=39
[9] Abu Abdillah al-¬Mufadhdhal bin ‘Umar al-¬Ja‘fi, al-Haft al-Syarif, Cetakan Arab: Dar al-Andalus, Beirut, Cetakan Kedua, 1978 M Hal. 73



BY. Cahaya Gusti


 

0 komentar:

Posting Komentar